JAKARTA: Entitas Bank Perkreditan Rakyat kesulitan dalam mendapatkan
izin operasional baru karena terbentur lamanya proses studi kelayakan
yang merupakan bagian dalam proses pendirian
Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia
(Perbarindo), mengatakan secara umum ada beberapa kendala yang dihadapi
oleh calon entitas Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dalam memperoleh izin
operasional baru dari bank sentral
“Dalam praktek lapangan banyak faktor yang membuat izin lama
dikeluarkan. Paling sering masalah kelengkapan persyaratan dan
feasibility study [studi kelayakan],” ujarnya kepada Bisnis, akhir pekan
lalu.
Selama ini proses pendirian BPR mengacu pada Peraturan Bank Indonesia
(PBI) nomor 8/26/PBI/2006. Dalam beleid tersebut dinyatakan pendirian
BPR memerlukan dua izin, yakni persetujuan prinsip dan izin usaha.
Dalam mendapatkan persetujuan prinsip dilakukan studi kelayakan bagi
calon entitas BPR tersebut. Sesuai beleid, persetujuan atau penolakan
atas persetujuan prinsip diberikan paling lambat 60 hari sejak dokumen
permohonan diterima secara lengkap.
Setelah mendapatkan persetujuan prinsip, entitas tersebut baru bisa
mengurus izin usaha. Bank sentral memberikan persetujuan atau penolakan
atas permohonan izin usaha diberikan paling lambat 60 hari sejak
dokumen persyaratan diterima secara lengkap.
Namun, Ketua Perhimpunan Perbarindo Komda Semarang Teguh Sumaryono,
mengatakan proses studi kelayakan terhadap calon BPR bisa mencapai 2
tahun. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab lamanya proses pendirian
BPR.
"Jika dahulu studi kelayakan cukup 3 bulan, [ namun] sekarang ada yang
sampai 2 tahun belum selesai," ujarnya seperti dikutip dari Antara.
Teguh menambahkan hingga saat ini ada sejumlah BPR yang masih menunggu
hasil dari bank sentral untuk mendapatkan izin operasional baru.
Selain itu, lanjutnya, modal minimal juga menjadi masalah dalam
pendirian BPR. Kebutuhan modal minimal melampaui persyaratan yang ada di
dalam PBI.
Dalam aturan, modal minimal yang dibutuhkan BPR untuk beroperasi pada
wilayah Ibukota Provinsi sebesar Rp2 miliar. "Akan tetapi kenyataannya,
di tingkat ibukota provinsi Rp2 miliar tidak cukup. Modal yang
diperlukan mencapai Rp5 miliar," katanya.
Sementara bagi BPR di tingkat kabupaten/kota, modal yang diperlukan
menjadi sekitar Rp2 miliar, tidak cukup hanya Rp1 miliar seperti
persyaratan bank sentral.
Joko Suyanto mengakui proses perizinan tersebut bisa menyimpang dari
jangka waktu yang sudah ditetapkan oleh PBI. Namun secara rinci dia
mengaku tidak tahu, karena Perbarindo nasional tidak pernah mendapatkan
data teknis dari lapangan.
“Semestinya sepanjang persyaratan sudah terpenuhi sesuai ketentuan yang
ada, sebaiknya dilakukan pemberian izin sesuai mekanisme yang ada,”
ujarnya.
Zainal Abidin, Direktur Eksekutif Departemen Kredit, BPR dan UMKM BI,
membantah bila bank sentral memperlama proses studi kelayakan BPR baru.
“Kalau itu sih enggak, cuma memang dalam penelitian memang ada
pertanyaan [ke BPR] terhadap sejumlah biaya-biaya yang tidak jelas,”
ujarnya.
Dia juga menambahkan, bank sentral memberikan analisa studi kelayakan
berdasarkan bisnis model BPR yang baru. Dalam bisnis model tersebut, dia
mengakui, apabila kelayakan modal BPR yang baru jauh lebih tinggi dari
yang dipersyaratkan.
“Ketentuan modal itu minimal. Selain itu aturan itu didirikan di jaman
dulu. Kalau BPR didirikan begitu saja [tanpa studi kelayakan] maka
fungsinya tidak akan jalan,” jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar